Atmosfer
ruangan ini masih tetap seperti dahulu. Tak berubah, tak berkembang. Membuatku
jenuh dengan semua ini. Jika Tuhan mengijinkanku berteriak, aku akan berteriak
sekeras mungkin sehingga dunia dan seisinya tahu apa yang selama ini kurasakan.
Namun, untuk berbicara dengan penghuni dunia ini saja tak bisa, apalagi
meneriakinya. Sungguh keterbatasanku menahanku untuk mengungkapkan semua isi
hatiku.
Inilah
aku, seorang gadis yang terlahir dengan keterbatasan wicara yang menghadapi
kehidupan yang keras. Kehidupan yang tak seharusnya dijalani oleh seorang gadis
apalagi gadis tunawicara sepertiku. Hidup sebagai seorang loper koran memaksaku
untuk meninggalkan kehidupan remaja yang menyenangkan. Semua keadaan yang
kujalani saat ini memang memiliki sejarah yang memilukan. Ayahku yang menjadi
salah satu korban longsornya tambang batubara di Kalimantan menyebabkanku dan
adikku kehilangan figur ayah. Ibuku pun kehilangan imamnya untuk
selama-lamanya. Sudah setahun lamanya keluargaku hidup tanpa kehadiran Ayah.
“Nduk,
kamu kok nggak berangkat nganterin koran? Lihat itu sudah jam berapa.” Tanya
Ibuku tiba-tiba sampai membangunkanku dari lamunan.
Kulihat
jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kulihat Ibu juga sudah siap
menjajakkan kue-kuenya, adikku pun ternyata juga sudah berangkat sekolah. Seharusnya
pukul enam pagi aku sudah mulai menjajakkan koran di jalanan. Namun gara-gara
aku melamun, jadi lupa waktu. Tanpa basa-basi lagi langsung saja ku bergegas
berangkat ke agen koran. Tak lupa ku berpamitan dengan Ibu.
Sesampainya
di tempat agen koran, dengan segenap rasa bersalahku akibat dari
keterlambatanku hari ini, ku memohon maaf kepada sang bos. Hanya menunduk dan
menangkupkan tangan sebagai isyarat bahwa aku meminta maaf kepada bosku.
“Sudah tidak apa-apa, besok lagi
jangan telat ya. Kalau telat, saya nggak akan memberimu upah. Ambillah
koran-koran itu, kemudian jajakkan di persimpangan lampu merah. Saya harap kamu
bisa memberikan setoran yang lebih dari hari-hari kemarin.”
Kuacungkan
jempolku dan kuanggukkan kepalaku sebagai tanda aku siap menjalankan perintah
dari bos. Alhamdulillah saja Tuhan membukakan pintu rezeki yang cukup lebar
bagiku. Meski rupiah yang kudapat dari menjajakkan koran tak seberapa,
setidaknya dapat membantu Ibu menyambung hidup dan menyekolahkan adikku
satu-satunya yang kini sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar.
Di
persimpangan lampu merah inilah kukais rezeki dari lembar-lembar kertas yang
berisi karya para jurnalis yang mengulas bermacam berita. Meski ku tak pandai
bicara karena memang ku tak bisa bicara, namun ku pandai menawarkan koran-koran
ini. Hampir setiap hari koran yang kujajakkan habis tak tersisa. Mungkin mereka
yang mengetahui keterbatasanku merasa iba sehingga mau membeli koran-koranku
ini.
Di
saat lampu merah menyala, inilah waktu berharga bagiku untuk menjajakkan
koran-koran yang kubawa. Dari duapuluh eksemplar yang kubawa, tinggal sisa
seperlimanya saja. Dengan peluh keringat mengalir dari tubuhku, ku rehatkan
sejenak badanku di atas trotoar. Sembari istirahat, kuhitung rupiah yang
kuperoleh hari ini. Alhamdulillah. Hari ini aku bisa menyetorkan uang yang
lebih kepada bos.
“Eka,
koen dapat duit berapa hari ini?”
Tanya seorang temanku yang tiba-tiba menghampiriku dan ikut duduk di trotoar.
Ku
tersenyum simpul, ku isyaratkan dengan jemariku bahwa hari ini aku mendapatkan
uang tiga puluh dua ribu rupiah.
“Wah
akeh banget ya. Aku wae cuma dapat segini kok.”
Kulihat
beberapa lembar rupiah yang didapat temanku yang memang secara nominal lebih
banyak rupiah yang kuperoleh daripada dia. Tapi ku tersenyum padanya, dan
kutuliskan dalam sebuah kertas agar ia dapat cepat memahami apa yang ingin
kukatakan padanya.
Nggak
apa-apa. Apa yang kamu peroleh itu ialah pemberian Tuhan yang harus kamu
syukuri. Kelak Tuhan akan memberikan yang lebih baik kepada orang-orang yang
mau berusaha dan bersabar.
“Eka,
koen emang pinter ngingetin aku buat
bersyukur. Koen sahabatku sing paling baik nek dunia ini.” Ucap Riri, sobat seperjuanganku sesama loper koran
seraya memelukku.
Ketika
aku dan Riri sedang berpelukan, tiba-tiba kulihat ada dua orang preman sedang
memalak anak-anak jalanan yang baru saja ngamen. Apa yang kulihat ini
membangkitkan emosiku untuk melawan orang-orang tak berperikemanusiaan itu.
Tanpa basa-basi aku langsung berlari ke arah anak-anak jalanan itu. Kulawan dua
preman itu seorang diri, kucoba melawan mereka berdua dengan menghajarnya.
Sampai-sampai dua preman itu kemudian kabur meninggalkan anak-anak jalanan itu.
“A-i-an a-a-a?(Kalian nggak apa-apa?)” Tanyaku kepada para anak jalanan yang
malang itu.
“Terima kasih kak. Kami nggak
apa-apa, tapi uang kami dibawa mereka kak. Jadi kami sekarang nggak punya uang
lagi.”
Mengetahui
anak-anak jalanan itu tak memiliki uang lagi, hatiku tak kuasa menahan iba.
Walaupun sesungguhnya aku juga sangat membutuhkan uang, tapi ada yang lebih
membutuhkan daripada aku. Kuputuskan untuk memberikan sebagian rupiah yang
kuperoleh hari ini kepada mereka.
“Nggak usah Kak, kami bisa ngamen
lagi kok.”
“A-a i-as ok(Kakak ikhlas kok)”
“Kakak yakin?” Salah satu dari
mereka menoleh pada yang lain.
Kemudian
kuanggukkan kepalaku sebagai pertanda bahwa aku benar-benar memberikan hasil
keringatku untuk mereka karena rasa iba di hatiku sudah tak terbendung lagi.
Kasihan
sekali anak-anak jalanan itu, aku benar-benar tak terima bila dua preman itu
terus saja memalak anak-anak jalanan tak berdaya ini. Terbersit sebuah rencana
untuk melaporkan dua preman itu ke kantor polisi agar mereka tidak melanggar
hak asasi anak-anak jalanan itu.
“Wah, koen kok berani banget ya ngelawan dua preman biang kerok itu.
Hebatnya sahabatku ini.” Riri kemudian menghampiriku.
“Ah, u-an a-a a-a(Ah, bukan apa-apa)” Kataku sambil
tersenyum.
Kemudian
kusampaikan rencanaku kepada Riri untuk melaporkan dua preman itu kepada polisi
agar ditindak secara hukum.
“Tapi piye carane Ka? Kita kan nggak punya bukti yang akurat tho?”
Itu
urusan belakangan saja, pikirku dalam hati. Yang penting sekarang Riri kuajak
ke kantor polisi untuk melaporkan semuanya.
Sesampainya
di kantor polisi terdekat, kucoba ceritakan semua laporanku tentang pemalakan
liar anak jalanan oleh dua preman itu. Mungkin sang polisi kurang paham akan
bahasa isyaratku ini. Riri mencoba memperjelas apa yang kusampaikan kepada
polisi itu.
“Begini Pak, ada dua orang preman
yang sering memalaki anak-anak jalanan yang baru ngamen. Sampai tadi sempat ada
perkelahian karena teman saya ini melawan preman-preman itu demi membela
anak-anak jalanan itu. Kalau nggak ada teman saya ini, wah nggak tau dah piye nasibe anak-anak jalanan iku. Tapi kami ingin dua preman itu
segera ditangkap saja Pak, biar nggak malak anak jalanan maneh.”
“Baik, kami akan segera
menindaklanjuti perkara yang Anda laporkan. Tapi kami juga memerlukan bukti yang
akurat untuk membantu penelusuran kami mengenai dua preman tersebut.”
Aku
dan Riri saling berpandangan. Bukti seperti apa yang harus aku berikan untuk
membantu polisi-polisi ini.
“Bagaimana Mbak? Anda memiliki
bukti atau tidak?”
Aku
dan Riri belum dapat memberikan keputusan.
“Maaf Pak Polisi, bukti seperti apa
ya yang harus kami berikan?” Tanya Riri.
“Anda bisa membawa saksi atau
korban yang mengalami perkara ini.”
“A-o-i-i, a-ya i-a e-a-u(Pak Polisi, saya bisa membantu)”
Kuambil
dua lembar kertas dari sakuku dan juga sebuah pensil. Riri dan para polisi yang
ada di situ sedang heran melihat apa yang kulakukan. Aku menggoreskan pensilku
ke dua lembar kertas itu. Di atas dua lembar kertas itu kulukiskan sketsa wajah
dua preman itu. Di sini tak ada yang tahu bahwa sebenarnya aku pandai melukis
sketsa wajah seseorang, bahkan Riri pun tak tahu.
Kuserahkan
dua lembar kertas itu kepada sang polisi. Sang polisi memperhatikan betul dua
gambar tersebut. Tampaknya ia mulai paham siapa dua preman yang kumaksud. Dua
preman yang setelah ini akan menjadi buronan bagi para polisi itu.
“Baik, terima kasih sudah membantu
kami dengan memberikan sketsa wajah ini. Kami akan segera mencari siapa dua
preman ini dan menindaklanjutinya.”
Aku
dan Riri berterima kasih kepada polisi tersebut. Hatiku sudah sedikit lega
mendengar bahwa sang penegak hukum akan segera menindak para manusia kriminal
itu. Setelah dari kantor polisi, kemudian kami berdua pulang ke tempat bos
untuk menyerahkan setoran hari ini. Aku rela pendapatanku hari ini berkurang,
karena uang yang seharusnya kusetorkan kepada bos sebagian telah kuberikan
kepada anak-anak jalanan itu.
***
Hari-hari
menjalani hidup di jalanan kota metropolitan ini memang keras. Sejak peristiwa
yang melibatkan dua preman dan anak-anak jalanan yang malang itu, ada saja
kasus kriminalitas yang kujumpai. Tak pernah aku tak terlibat dalam perlawanan
terhadap para penjahat-penjahat metropolitan itu. Aku tak peduli diriku tak
bisa bicara, yang penting diriku bisa melawan mereka yang tak
berperikemanusiaan. Namun aku tak tau bagaimana cara menyeret penjahat-penjahat
itu, aku tak bisa bicara. Tapi sepertinya Tuhan selalu memberikan jalan bagi
orang-orang yang berjuang dalam kebaikan. Dia memberikanku kemampuan melukis
sketsa. Dengan memperhatikan wajah-wajah penjahat di Kota Pahlawan ini, aku
bisa melaporkan penjahat-penjahat itu ke kantor polisi.
Sampai
suatu ketika saat aku usai melapor di kantor polisi, ada seorang polisi muda
menghampiriku.
“Kamu, siapa namamu? Sering sekali
kamu datang melapor kemari.”
“A-a-u e-a(Namaku Eka)” Sepertinya ia tak dapat menangkap siapa namaku.
Kemudian kucantumkan namaku dalam sebuah kertas dan kutunjukkan padanya.
“Oh, Eka. Maaf sebelumnya. Kami
dari pihak kepolisian sangat salut atas apa yang kamu lakukan selama ini. Kamu
sudah banyak membantu kami untuk menangkap penjahat-penjahat yang sedemikian
banyaknya di kota metropolitan ini yang kami tak ketahui. Tapi sketsa wajah
yang kamu berikan kepada kami itu sangat membantu kami.” Ucap polisi muda itu
dengan senyum kepadaku.
“I-a, a-ma a-ma (Iya sama-sama)” Kuanggukkan kepalaku
sambil tersenyum.
“Di sini yang bisa memahami bahasa
orang yang memiliki disability hanyalah
aku. Kebetulan saja mungkin kita seumuran, jadi kita bisa ngobrol dengan bahasa
nonformal. Maaf sebelumnya. Perkenalkan namaku Ksatria Wredatama, brigadir dua.
Bolehkah aku berteman denganmu?”
Sejenak
ku berpikir, apa yang menyebabkan polisi muda ini ingin menjadi temanku. Aku
seorang gadis loper koran, tunawicara pula, dan tak punya apa-apa. Bicaraku
saja sulit, bagaimana ia bisa berteman denganku nantinya.
“Eka, kenapa kamu diam saja? Aku
tahu kamu memang sulit berucap, namun itu tak menghalangi seseorang untuk
berteman denganmu.”
Sejenak
kupikirkan dalam hatiku, mengapa aku terlalu rendah diri seperti ini. Namun
setelah mencerna dalam-dalam perkataan polisi muda itu, kuanggukkan kepalaku
lalu tersenyum, menandakan “iya”. Kuterima pertemananku dengan polisi muda itu.
“Aku mewakili segenap anggota
kepolisian di sini memintamu untuk bermitra kerja di sini. Kami mohon kepadamu
untuk bersedia bekerja bersama kami dengan memaksimalkan potensi kamu itu. Kamu
bisa menggambar sketsa wajah itu berarti kamu bisa membantu kami untuk
menelusuri para penjahat itu dengan sketsa wajah yang kamu gambarkan.”
Rasa
gemetarku mendengar permohonan polisi itu. Mengapa mereka begitu membutuhkanku.
Aku hanya tidak sengaja menggambar sketsa untuk mereka, karena aku tak bisa
mengungkapkan bagaimana ciri fisik dengan jelas menggunakan lisanku. Lantas
jika aku bekerja dengan mereka, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai loper
koran?
“Kamu
bekerja di sini saja, tak perlu lagi menjajakkan koran-koran di persimpangan
lampu merah. Segenap anggota kepolisian di sini akan membantumu memenuhi segala
kebutuhan hidupmu.”
Sebelum
diriku pulang, polisi muda itu memberiku sebuah amplop coklat besar, yang
katanya berisi surat pernyataan untuk bersedia bekerja bersama mereka. Kuterima
amplop itu untuk kutunjukkan kepada Ibuku nanti.
Sesampainya
di rumah, kubuka amplop itu. Betapa terkejutnya aku karena apa yang dikatakan
Bripda Ksatria mengenai isi amplop berupa surat pernyataan itu ternyata berisi
uang jutaan rupiah. Ibuku yang mengetahuinya sontak terkejut.
“Masyaallah Nduk, darimana kamu dapat uang sebanyak itu? Tak biasanya kamu
dapat uang segini dari hasil jualan koran.”
Bagaimana
aku harus menceritakan ini semua pada Ibu. Ceritanya amat sangat panjang.
Kutuliskan semua yang selama ini kulakukan, hingga pihak kepolisian memintaku
bekerja bersama mereka, dan mungkin uang ini adalah wujud penghargaan mereka
untukku. Padahal aku sungguh tak mengharapkan semua ini.
“Wah Mbak Eka bisa dapat uang
banyak sekarang. Aku bisa minta dibeliin apa aja dong.” Kata adikku, Brata.
“Hus, kamu ini. Eka, ibu bangga
sama kamu Nduk. Kita sudah lama hidup
susah, belum pernah dapat uang segini banyaknya. Lebih baik kamu terima saja Nduk tawaran dari pihak kepolisian itu.
Siapa tahu nasib kita bisa berubah lebih baik.”
Setelah
kupikir-pikir, inilah jawaban atas kejenuhanku selama ini. Setelah sekian lama
hidupku menderita dengan segenap cobaan yang menimpa dan kehidupan keras yang
kujalani. Mungkin inilah saatnya kutinggalkan kehidupan yang keras di jalanan
yang hanya bertumpu pada bergantinya warna traffic
light menjadi merah. Yang berharap lembar-lembar koran itu dapat ditukar
dengan rupiah.
Aku
memang harus banting setir. Bukan karena aku ingin segera hidup kaya. Namun,
aku hanya ingin menghapus segala penderitaan yang dirasakan Ibu dan adikku
setelah kehilangan Ayah. Kebahagiaan mereka menjadi obor yang menyalakan
semangat hidupku.
***
Sejak
saat itu kutinggalkan kehidupanku sebagai seorang gadis loper koran. Kini aku
bekerja bersama para anggota kepolisian yang memintaku menjadi sketch painter guna membantu penelusuran
tersangka berbagai tindakan kriminal. Pekerjaanku saat ini membuatku mampu
membeli sebuah rumah di perumahan elit di kawasan Kota Pahlawan. Aku, Ibu, dan
adikku dapat merasakan bagaimana atmosfer yang baru.
Suasana
yang kurasakan selama bekerja menjadi seorang sketch painter membuatku merasa seperti sudah menjadi bagian dari
mereka, para anggota kepolisian. Selama bertugas di lingkungan mereka, aku tak
merasakan bahwa aku adalah manusia yang berbeda dari mereka. Aku tak merasakan
bahwa selama ini aku terlahir sebagai seorang tunawicara. Bripda Ksatria
Wredatama telah membantuku setiap berkomunikasi dengan para anggota kepolisian
itu. Memang hanya dia yang bisa memahami bahasa orang disability semacam diriku ini.
Suatu
ketika diriku diajak ngobrol dengan Ksatria, satu-satunya orang yang dapat
memahami bahasa isyaratku, mungkin pula memahami bahasa hatiku.
“E-i-a a-ih a?(Terima kasih ya)” Ucapku sambil memainkan tanganku sebagai isyarat.
“Sama-sama, Eka. Aku dan segenap
anggota kepolisian di sini juga sangat berterimakasih kepadamu karena kamu sudah
bersedia bekerja bersama kami.”
Polisi
muda itu tersenyum kepadaku. Aku pun membalasnya dengan senyum pula. Kemudian
kulihat matanya menatapku, lama sekali. Kemudian ku isyaratkan padanya, mengapa
dia menatapku seperti itu.
“Maaf ya, Eka. Aku tak ada maksud
lain. Aku hanya kagum denganmu. Gadis sepertimu, entah bagaimana aku harus
menyebutnya. Kamu memang seorang gadis yang memiliki disability, tapi semangatmu itulah yang dapat membuatmu menjadi
seorang gadis yang istimewa bagiku. Kamu pernah menjadi loper koran lah, pernah
menolong anak jalanan lah, dan hal terbesar yang pernah kamu lakukan selama ini
adalah mampu mengungkap hal yang belum kami ungkap. Kamu adalah gadis terhebat
yang pernah kutemui di dunia ini.”
Dia
tersenyum lagi kepadaku. Aku tersipu malu mendengarnya. Yang ada di hadapanku
ini adalah seorang pemuda berwajah oriental dan gagah berani. Dia juga sabar,
selama ini menghadapi manusia yang hanya mampu berbahasa isyarat sepertiku. Aku
merasa tak ada apa-apanya dibandingkan gadis lain yang lebih sempurna daripada
aku, aku merasa masih banyak gadis yang sempurna yang lebih pantas berada di
hadapannya saat ini. Apakah sesungguhnya yang kurasakan terhadap polisi muda
itu?
“Eka, bagaimana kalau nanti kamu
pulang aku antar? Kebetulan nanti jam dua siang aku lepas piket. Kamu mau atau
tidak?”
Dia
menawariku pulang bersama. Tapi kutolak tawaran itu. Aku takut jika nanti aku
terlarut dalam cinta yang sepertinya kurasakan pada dia, yang selama ini
bersamaku dalam bertugas. Sepertinya aku tak siap jatuh cinta. Aku hanya
seorang tunawicara, aku merasa rendah sekali jika mencintai seorang abdi negara
sepertinya. Dan aku hanya pantas menjadi sebatas rekan kerjanya.
Hari
itu, akhirnya kuputuskan untuk pulang sendiri. Ketika diriku sedang
melangkahkan kaki di trotoar, tiba-tiba kulihat seorang kakek berjubah putih
dan bersorban putih yang sedang melintas di persimpangan lampu merah tempatku
menjajakkan koran dahulu. Kulihat nyala traffic
light berwarna hijau. Sementara dari arah yang berlawanan ada sebuah truk
yang melaju kencang. Kakek tua itu tak melihat bahwa ada truk yang melaju
sangat kencang. Hatiku tersentak untuk menyelamatkan nyawa kakek tua itu. Ku
berlari ke arah kakek yang sedang menyeberang jalan itu. Lantas…
Brakkkkk….!!!
Kulihat
banyak orang berkerumunan di persimpangan lampu merah itu. Suara sirine
ambulans dan sirine polisi saling mengalun di tempat itu. Apakah yang terjadi
di sana. Mengapa mereka berkerumun di sana. Dengan segenap rasa penasaran,
diriku ikut bergabung dalam kerumunan manusia itu.
Betapa
terkejutnya diriku ketika aku menyaksikan bahwa itu adalah jasadku. Ya Tuhan,
berarti yang orang-orang saksikan itu adalah sebuah tabrakan yang terjadi saat
aku menyelamatkan kakek tua dari truk yang melaju kencang itu. Lantas mengapa
sang kakek yang kuselamatkan tadi tidak ada di tempat kejadian.
Dan
di samping jasadku aku melihat Ksatria sedang mengatakan sesuatu padaku seraya
meneteskan air matanya, “Padahal aku hendak melamarmu, Eka.”
Aku
yang melihatnya tak kuasa menahan tangis. Di sisi lain aku merasa percuma, ini
adalah aku yang tinggal roh semata.
“Nak, mari ikut saya naik ke
langit.” Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangku. Lalu ku tengok siapakah
yang berbicara padaku itu.
Betapa
terkejutnya aku karena ternyata kakek tua yang kutolong tadi tengah berdiri
tegap di belakangku tanpa terlihat luka apapun. Kemudian kutanya kakek tersebut
menggunakan bahasa isyaratku. Darimana dia berasal dan mengapa ia hendak
mengajakku naik ke langit. Namun sebelum sepatah katapun keluar dari mulutnya
untuk menjawab pertanyaanku, ia langsung memboncengku naik ke atas langit.
“Nduk, Eka, bangun lah.”
Suara
itu sepertinya kukenal, ya itu ibuku. Aku terbangun dari tidurku. Apa yang
kualami tadi, sepertinya aku tadi diajak oleh seorang kakek tua naik ke atas
langit. Tapi mengapa kini aku berada di kamar tidurku sendiri. Bahkan aku tak
percaya sedikit pun bahwa yang kualami tadi adalah sebuah mimpi buruk. Semua
terlihat seperti nyata. Aku gelisah, kuungkapkan semua pada ibuku.
“Kamu cuma mimpi Nduk. Sekarang kamu segera mandi dan
berdandanlah yang cantik. Di luar sudah ada seseorang yang menunggumu, Ksatria
hendak melamarmu Nduk.” Ucap Ibu
seraya tersenyum bahagia.
“Ibu bersungguh-sungguh?”
“Loh Eka, kamu bisa bicara Nduk? Ya
Allah, kamu benar-benar bisa bicara Cah
Ayu. Alhamdulillah.”
“Ya Allah, aku bisa bicara. Alhamdulillah
Ya Allah.”
Aku
bisa bicara seperti orang normal. Sungguh tak ku percaya. Apa ternyata mimpi
buruk yang kualami itu adalah sebuah pertanda baik. Dan yang paling tak kuduga
adalah, Bripda Ksatria hendak melamarku hari ini juga. Ya Tuhan, aku sangat
bersyukur padaMu karena Engkau telah memberikan segala nikmat dan mukjizat yang
luar biasa.
Hari
itu pula Ksatria melamarku. Untuk kemudian aku hidup sebagai seorang
Bhayangkari yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya. Rentetan hidup yang
kumulai dari menjadi seorang loper koran, seorang sketch painter, seorang gadis tunawicara yang hanya berangan-angan
dengan cintanya, sekarang berujung pada sebuah mukjizat yang luar biasa karena
aku dapat berbicara normal dan dinikahi oleh seorang abdi negara.
Hanya
satu yang ingin kusampaikan, salam untuk Ayahku di sana. “Terima kasih Ayah,
selama ini telah mengajarkanku bagaimana memperjuangkan hidup di tengah segala
keterbatasan dan kekurangan. Tapi itulah yang menuntunku mencapai sesuatu yang
sebelumnya hanya sebuah angan. Alhamdulillah ya Allah. Dekatkanlah Ayah di
sisiMu. Dekatkanlah pula aku dan keluargaku di sisiMu pula.”
TAMAT