Rabu, 02 Januari 2013

CAHAYA DI UJUNG DERMAGA


CAHAYA DI UJUNG DERMAGA
By : Reectavera
                Mata Reiva tak kunjung henti memandang lautan lepas di tepi dermaga. Diiringi dengan tetesan air mata yang mengalir dari matanya yang sayu, Reiva harus merelakan kepergian bapaknya yang merantau ke Kalimantan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya yang memang sangat terpuruk kala itu. Reiva tak tahu apa jadinya jika dia sebagai anak sulung harus menjadi pelindung bagi ibunya yang sudah sakit-sakitan dan dua adiknya yang masih kecil. Jika tak ada sang bapak, Reiva lah yang harus bertanggungjawab merawat dan menjaga ibunya dan adik-adiknya, walaupun kepergian bapaknya hanyalah sementara untuk mengadu nasib yang diharap lebih baik nantinya bagi keluarga mereka.
                Sebenarnya nasib Reiva tidak seburuk nasib para tunawisma yang harus tidur di tepi jalanan maupun di kolong jembatan yang kumuh. Keluarga Reiva cukup beruntung dan mereka merasa bahagia karena Tuhan masih memberikan rumah kecil di tanah pesisir untuk keluarganya sebagai tempat berteduh dan sekedar bercengkerama dengan keluarganya.
                Reiva kini tengah duduk di bangku kelas tiga di SMP Ranah Merdeka. Adiknya yang pertama yaitu Reno kini tengah duduk di bangku kelas tiga SD, sedangkan adiknya yang terakhir yaitu Raisa kini masih berumur 9 bulan. Ibunya menderita sakit asma yang cukup akut. Namun Reiva masih bersyukur karena ibunya masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini dan memberikan kasih sayang pada keluarganya.
                Suatu pagi yang cerah dengan senyum mentari menyinari siapa pun yang ada di bumi. Reiva hendak berangkat ke sekolahnya. Tapi dia tak pernah lupa mengingatkan ibunya untuk minum obat sesudah makan.
                “Ibu sudah minum obat apa belum?”
                “Uhuk..uhukk..! Sudah kok nak.” Jawab ibunya sambil tersenyum walaupun rasa sakit di dadanya tak tertahankan lagi.
Lalu Reiva berpamitan kepada ibunya dengan mencium tangan ibunya yang sedang menggendong adiknya yang masih kecil.
                Sepulang sekolah, tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghentikan perjalanan Reiva untuk pulang ke rumah.
                “Hai cantik, mau ke mana nih? Aku temenin ya? Hehehehe.” Ucap pemuda itu setengah mabuk.
                “Nggak mau! Asal kau tahu ya, aku bukan cewek murahan. Jangan berani-berani lagi kau dekati aku ! Dasar kurang ajar !” Hentak Reiva sambil memukul pemuda itu. Dan akhirnya Reiva langsung lari untuk pulang ke rumahnya. Dia selamat dari kejahatan yang hampir saja merenggut kesuciannya itu.
                Sesampainya di rumah, Reiva mendapati ibunya sedang berbaring di tempat tidur sambil batuk-batuk dan kelihatannya ibunya sedang merasa sangat kesakitan.
                “Ibuuu… Ibu kenapa? Ibu aku bawa ke puskesmas ya?”
                “Uhukk..uhukkk...! Tidak usah nak, ibu baik-baik saja. Cuma kecapekan mungkin. Uhukk..uhukk..!” Ucap ibunya agak tersengal-sengal karena asmanya sedang kambuh.
                “Ibu jangan begitu, aku bawa ke puskesmas ya? Nanti aku minta bantuan ke Pak Karno untuk mengantar ibu.”
                “Uhukk..uhukk.. Sepertinya asma ibu sudah sangat parah nak. Uhukk..uhukk.. Rasanya Allah bakal mengambil ibu sebentar lagi.”
                “Ibu jangan bilang begitu dong. Apa ibu tega meninggalkanku dan Reno serta Raisa yang masih kecil, sementara bapak masih merantau di jauh sana.” Ucap Reiva sambil meneteskan air mata yang akhirnya jatuh ke tanah, teresap dan musnah.
                Tidak lama kemudian Reno datang dan habis bermain di rumah temannya sejak pagi tadi.
                “Kak, ibu kenapa?” Tanya Reno dengan raut wajahnya yang polos dan tak mengerti apa yang terjadi.
                “Nak Reno, uhukk..uhukk..! Ibu mau pergi jauh nak. Allah akan memanggil ibu sebentar lagi. Uhukk..uhukk.. Asma ibu sudah sangat parah, ibu sudah tidak kuat lagi nak.”
                “Buu, jangan pergi. Nanti siapa yang masakin Reno bu..” Ucap Reno sambil menangis pula seperti kakaknya. Raisa yang sedang tertidur pulas di samping ibunya malah tak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya.
                “Bu, jangan tinggalin kami bu. Aku nggak rela kalau ibu pergi.” Ucap Reiva tak henti menahan tangisnya.
                “Reiva, ibu pesan ke kamu. Tolong jaga dan rawatlah adik-adikmu ini dengan baik. Jika kau merasa keberatan mengasuh Raisa, titipkanlah saja dia ke bibimu, Sumi. Uhukk..uhukk..! Dan untuk Reno, jangan nakal ya nak. Walaupun ibu sudah tak bisa lagi memasakkan makanan untuk kamu, Kak Reiva juga bisa kok memasakkan makanan selezat masakan ibu. Jangan sedih lagi ya nak.”
Tak lama kemudian, benar pula apa yang dirasakan ibu Reiva sejak tadi. Allah benar-benar ingin memanggil sang ibu pada saat itu juga. Akhirnya ibu Reiva berhenti berkata-kata karena nafasnya tlah terhenti dan telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
                “IBUUUUUUUUUUUU…!” Teriakan Reiva dan Reno yang sangat keras membangunkan Raisa yang sedang tertidur. Raisa pun menangis pula. Lalu Reiva menggendong Raisa.
                “Reno, percuma kita teriak manggil-manggil ibu. Ibu udah dipanggil sama Allah dan nggak akan kembali lagi. Tak ada gunanya kita menangisi kepergian ibu, ibu sudah tenang di alam sana. Sebaiknya kita selalu berdoa untuk ibu agar ibu bahagia di sana.” Ucap Reiva demi menenangkan Reno.
***
                Kabar mengenai meninggalnya ibu Reiva nampaknya sudah terdengar sampai ke Kalimantan di mana bapaknya bekerja. Tapi, bapaknya pun sampai sekarang belum juga pulang ke rumah, bahkan tak mengirimkan kabar satu pun untuk keluarganya di rumah. Bapak Reiva juga belum sedikit pun mengirimkan uang untuk menyambung hidup Reiva dan adik-adiknya.
                Karena Reiva merasa sudah tak sanggup lagi merawat adik-adiknya, maka ia titipkan Reno dan Raisa kepada Bibi Sumi. Raisa pun rela putus sekolah dan menyisakan kenangan prestasinya di SMP Ranah Merdeka. Dulu ia seringkali membawa nama harum nama sekolahnya, tapi kini tak lagi karena Reiva sudah tak punya biaya lagi untuk sekolah. Sedikit dana beasiswa yang ia dapat ia kumpulkan untuk modal usaha mencari nafkah. Dia belikan alat-alat lukis seperlunya. Dia mencoba mencari nafkah dengan melukis dan lukisannya akan ia jual demi mendapatkan uang.
                Setiap pagi, siang, dan malam Reiva melukis di rumahnya yang dekat dengan dermaga. Hasil lukisannya  tak dapat diragukan lagi dan tampak bagus karena dari kecil Tuhan sudah menganugerahkan kepadanya kemampuan untuk melukis.
                Suatu hari setelah banyak lukisan yang dapat ia buat, ia coba jualan keliling di sekitar pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing. Reiva berjalan ke sana ke mari sambil menawarkan beberapa lukisannya. Namun belum ada satu pun yang mau membeli lukisan Reiva. Tiba-tiba ada seorang wanita yang menghampiri Reiva.
                “Mbak mau beli lukisan saya?” Tanya Reiva kepada wanita cantik yang dikiranya akan membeli lukisannya.
                “Tidak kok. Hmm, kamu sedang bekerja mencari uang ya?”
                “Iya mbak, saya jualan lukisan biar dapet uang untuk biaya hidup saya dan adik-adik saya.”
                “Daripada kamu susah-susah nyari uang kayak gini yang belum tentu ada pembelinya, mendingan kamu ikut saya. Kamu kerja di villa saya. Nanti kamu akan cepet dapat uang banyak kalau mau kerja di tempat saya.” Ucap wanita muda berbaju seksi yang kelihatannya baik itu.
                “Memangnya saya harus kerja apa di tempat Mbak?”
                “Ada deh pokoknya, yang penting sekarang kamu ikut saya.”
                Tanpa pikir panjang lagi, Reiva menuruti saja tawaran wanita cantik itu karena Reiva mengira kalau dia wanita yang baik hati yang akan merubah nasibnya lebih baik lagi.
***
                Malam pun tiba, Reiva sudah berada di sebuah villa di dekat pantai yang indah dan megah. Banyak orang kaya dengan mobil mewahnya berkunjung ke villa ini. Banyak pula wanita cantik yang dipekerjakan di sini. Namun mereka semua berpakaian minim dan seksi. Reiva terkejut dengan suasana villa ini.
                “Reiva, inilah tempat kerja baru kamu. Malam ini kamu sudah boleh mulai kerja di sini.”
                “Mbak, kenapa kok yang bekerja di sini semua berpakaian seperti itu?”
                “Memang begitu peraturannya, agar mereka bisa dapat uang banyak. Kamu mau nggak? Kamu malam ini harus memakai pakaian minim dan seksi seperti mereka.”
                “Tapi saya tidak mau Mbak. Saya tak mau memakai pakaian minim seperti itu, tidak sopan.” Tolak Reiva dengan tegas.
                “Udahlah, kamu jangan sok tahu. Kamu nurut aja apa perintah saya. Ingat, kamu bisa dapet uang banyak dalam waktu semalam saja. Cepet ganti pakaian sana!”
                Sepertinya wanita itu semakin memaksa Reiva dan Reiva tak bisa mengelak lagi mengingat ia memang butuh uang untuk menyambung hidupnya. Dan akhirnya Reiva terpaksa harus membalutkan pakaian minim di tubuhnya. Memang Reiva semakin kelihatan cantik, namun agak hina bagi dirinya.
                “Lalu apa yang harus saya kerjakan di sini Mbak?” Tanya Reiva setelah ia selesai didandani oleh wanita itu.
                “Kamu masuk saja di kamarmu, akan saya tunjukkan kamarmu. Mari ikut saya.”
                Lalu Reiva dibawa ke sebuah kamar di villa yang megah itu. Tidak lama kemudian ada seorang laki-laki setengah tua memasuki kamar Reiva dan sempat membuat Reiva terkejut.
                “Anda siapa? Mau apa Anda masuk ke kamar saya?” Tanya Reiva sambil ketakutan melihat laki-laki itu lekas membuka jas dan kemejanya untuk mencumbui Reiva.
                “Gadis cantik, jangan takut. Aku cuma mau menikmatimu saja malam ini.”
                “Tidak, saya tidak mau. Pergi kau, aku bukan makanan yang bisa kau nikmati begitu saja. Aku masih punya harga diri. Tak akan kubiarkan kau merenggut kesucianku. Pergi kau lelaki tua !” Gertak Reiva lalu menendang laki-laki tua itu. Lalu Reiva berusaha kabur dari villa itu lewat jendela kamar. Reiva menyadari kalau dirinya telah dijual oleh wanita baik yang ternyata jahat itu. Reiva tak mau jika dirinya harus bekerja sehina itu.
                “Hei jangan kabur kamu!” Laki-laki itu berusaha mengejar Reiva. Tapi Reiva terus berlari sampai-sampai dia meghentikan laju sepeda motor yang sedang dikendarai oleh seorang pemuda yang kebetulan melintasi jalan itu. Reiva mencoba meminta bantuan ke pemuda itu.
                “Tolong saya, saya mohon.”
                “Ada apa? Iya kamu jangan panik, saya akan menolong kamu.” Ucap pemuda berparas tampan dengan rupa wajah oriental itu.
                “Saya dikejar orang jahat. Tolong saya, bawa saya pergi dari sini.”
                “Iya tenang ya? Akan saya bantu kamu, kamu sementara ikut ke rumah saya saja ya? Mari saya bonceng.”
                Lalu Reiva ditolong oleh pemuda tak dikenal itu dan dibawa ke rumahnya yang sederhana dan tak jauh dari daerah pesisir pantai.
                “Nama kamu siapa?”
                “Namaku Reiva. Hmm. Terima kasih ya kamu sudah mau menolong saya. Nama kamu siapa? Apakah kamu tinggal sendirian di sini?”
                “Namaku Reyhan. Iya, aku tinggal di rumah ini sendirian. Kedua orangtuaku sudah meninggal dan aku tak punya siapa-siapa lagi.”
                “Oh begitu, lalu kamu bekerja apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu?” Tanya Reiva.
                “Aku adalah seorang pelukis. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah melukis. Aku mempunyai galeri seni di dekat pantai. Setiap hari banyak pengunjung yang membeli dan memesan lukisanku. Dari sini lah aku bisa mempertahankan hidupku.”
                “Wah hebat. Aku sebenarnya juga seorang pelukis, aku berusaha menjual lukisanku keliling pantai namun tak ada yang membelinya. Aku hidup sebatang kara dan aku menjual lukisanku untuk mendapatkan uang demi menyambung hidup.”
                “Hmm, mungkin kamu harus berusaha lebih keras lagi. Orang sukses itu berawal dari kegagalan yang berulang kali dia alami. Jika sudah putus asa di tengah jalan, berarti ia tidak mau sukses. Apa kamu mau seperti itu?”
                “Tidak, aku juga ingin sukses seperti kamu.”
                “Apa begini saja, kamu bawa lukisan-lukisan kamu ke galeriku. Nanti kita jual bersama. Bagaimana? Kamu setuju nggak?”
                “Setuju banget. Makasih banget ya Reyhan. Baru pertama kali aku bertemu dengan pemuda sebaik kamu.”
                “Ah masa’ sih? Ya sudah sekarang kamu istirahat dulu. Besok aku antarkan kamu pulang. Rumahmu di mana emangnya?”
                “Rumahku di dekat dermaga. Ya sudah, aku mau istirahat dulu. Kamu juga ya Reyhan.”
Lalu Reiva beristirahat sementara di rumah pemuda baik hati itu.
***
                Singkat cerita, Reiva lalu menjalin hubungan bisnis dengan Reyhan. Lukisan-lukisannya banyak yang laku terjual di galerinya Reyhan. Sudah dua tahun lamanya bisnis mereka berjalan lancar. Reiva dan Reyhan sukses menjadi pelukis terkenal sampai ke mancanegara karena banyak turis asing yang meminati lukisan hasil karya mereka berdua. Tidak hanya menjalin hubungan bisnis, Reiva yang ternyata jatuh cinta kepada Reyhan juga telah menjalin hubungan asmara dengan Reyhan. Suatu hari Reiva meminta Reyhan untuk mengantarkannya ke dermaga. Reiva menanti kedatangan bapaknya yang sudah lama tak pulang.
                Tiba-tiba terlihat cahaya lampu mercusuar yang menandakan ada kapal yang akan berlabuh. Satu per satu orang yang turun dari kapal diamati oleh Reiva. Ia sedang mencari-cari bapaknya, barangkali bapaknya  turun dari kapal. Lalu ada seorang teman bapaknya yang ingin menyampaikan suatu hal yang kelihatannya sangat penting pada Reiva.
                “Reiva, kamu anaknya Pak Ranto kan?”
                “Iya pak, ada apa ya pak? Di mana bapak saya? Apa dia belum turun dari kapal?”
                “E..e..e..tidak nak. Bapakmu tidak ikut turun dari kapal. Bapakmu sudah…”
                “Sudah apa pak? Ayo katakan! Saya ingin sekali bertemu dengan bapak saya.”
                “Bapakmu sudah meninggal nak. Dia terkena kecelakaan saat bekerja. Dia tertimpa longsoran batubara di tempat kerjanya. Sebenarnya bapakmu sudah setahun yang lalu meninggal. Tapi saya tidak tega menyampaikan kabar ini ke keluargamu.”
                “Apa? Bapak meninggal? Ya Allah…” Reiva langsung pingsan karena shock mendengar kabar yang menusuk batinnya itu.
***
                Kini nasib Reiva telah sama dengan Reyhan, kekasihnya. Mereka sama-sama hidup sebatang kara. Oleh karena mereka mempunyai masalah yang sama, mereka bermaksud untuk menggapai keinginan bersama agar masalah mereka bisa terlupakan. Mereka berdua lalu menikah untuk meneruskan hubungan cinta mereka tanpa disaksikan oleh kedua orangtua mereka.
                Reiva dan Reyhan lalu hidup bersama di rumah mewah di dekat pantai sebagai hasil kerja keras mereka berdua selama ini. Reiva juga tak lupa mengajak Bibi Sumi dan adik-adiknya untuk tinggal bersamanya di rumah mewahnya. Sesekali Reiva dan suaminya berkunjung ke makam ibunya, bahkan ke makam bapaknya yang berada di Pulau Kalimantan. Kini Reiva mendapatkan kehidupan yang bahagia setelah sepanjang hidupnya dilanda penderitaan.                                                                                           TAMAT