CAHAYA DI UJUNG DERMAGA
By : Reectavera
Mata Reiva tak kunjung henti memandang
lautan lepas di tepi dermaga. Diiringi dengan tetesan air mata yang mengalir
dari matanya yang sayu, Reiva harus merelakan kepergian bapaknya yang merantau
ke Kalimantan untuk memperbaiki keadaan ekonomi keluarganya yang memang sangat
terpuruk kala itu. Reiva tak tahu apa jadinya jika dia sebagai anak sulung harus
menjadi pelindung bagi ibunya yang sudah sakit-sakitan dan dua adiknya yang
masih kecil. Jika tak ada sang bapak, Reiva lah yang harus bertanggungjawab
merawat dan menjaga ibunya dan adik-adiknya, walaupun kepergian bapaknya
hanyalah sementara untuk mengadu nasib yang diharap lebih baik nantinya bagi
keluarga mereka.
Sebenarnya
nasib Reiva tidak seburuk nasib para tunawisma yang harus tidur di tepi jalanan
maupun di kolong jembatan yang kumuh. Keluarga Reiva cukup beruntung dan mereka
merasa bahagia karena Tuhan masih memberikan rumah kecil di tanah pesisir untuk
keluarganya sebagai tempat berteduh dan sekedar bercengkerama dengan
keluarganya.
Reiva
kini tengah duduk di bangku kelas tiga di SMP Ranah Merdeka. Adiknya yang
pertama yaitu Reno kini tengah duduk di bangku kelas tiga SD, sedangkan adiknya
yang terakhir yaitu Raisa kini masih berumur 9 bulan. Ibunya menderita sakit
asma yang cukup akut. Namun Reiva masih bersyukur karena ibunya masih diberi
kesempatan untuk hidup di dunia ini dan memberikan kasih sayang pada
keluarganya.
Suatu
pagi yang cerah dengan senyum mentari menyinari siapa pun yang ada di bumi.
Reiva hendak berangkat ke sekolahnya. Tapi dia tak pernah lupa mengingatkan
ibunya untuk minum obat sesudah makan.
“Ibu
sudah minum obat apa belum?”
“Uhuk..uhukk..!
Sudah kok nak.” Jawab ibunya sambil tersenyum walaupun rasa sakit di dadanya
tak tertahankan lagi.
Lalu Reiva berpamitan kepada ibunya dengan
mencium tangan ibunya yang sedang menggendong adiknya yang masih kecil.
Sepulang
sekolah, tiba-tiba ada seorang pemuda yang menghentikan perjalanan Reiva untuk
pulang ke rumah.
“Hai
cantik, mau ke mana nih? Aku temenin ya? Hehehehe.” Ucap pemuda itu setengah
mabuk.
“Nggak
mau! Asal kau tahu ya, aku bukan cewek murahan. Jangan berani-berani lagi kau dekati
aku ! Dasar kurang ajar !” Hentak Reiva sambil memukul pemuda itu. Dan akhirnya
Reiva langsung lari untuk pulang ke rumahnya. Dia selamat dari kejahatan yang hampir
saja merenggut kesuciannya itu.
Sesampainya
di rumah, Reiva mendapati ibunya sedang berbaring di tempat tidur sambil
batuk-batuk dan kelihatannya ibunya sedang merasa sangat kesakitan.
“Ibuuu…
Ibu kenapa? Ibu aku bawa ke puskesmas ya?”
“Uhukk..uhukkk...!
Tidak usah nak, ibu baik-baik saja. Cuma kecapekan mungkin. Uhukk..uhukk..!”
Ucap ibunya agak tersengal-sengal karena asmanya sedang kambuh.
“Ibu
jangan begitu, aku bawa ke puskesmas ya? Nanti aku minta bantuan ke Pak Karno
untuk mengantar ibu.”
“Uhukk..uhukk..
Sepertinya asma ibu sudah sangat parah nak. Uhukk..uhukk.. Rasanya Allah bakal
mengambil ibu sebentar lagi.”
“Ibu
jangan bilang begitu dong. Apa ibu tega meninggalkanku dan Reno serta Raisa
yang masih kecil, sementara bapak masih merantau di jauh sana.” Ucap Reiva
sambil meneteskan air mata yang akhirnya jatuh ke tanah, teresap dan musnah.
Tidak
lama kemudian Reno datang dan habis bermain di rumah temannya sejak pagi tadi.
“Kak,
ibu kenapa?” Tanya Reno dengan raut wajahnya yang polos dan tak mengerti apa
yang terjadi.
“Nak
Reno, uhukk..uhukk..! Ibu mau pergi jauh nak. Allah akan memanggil ibu sebentar
lagi. Uhukk..uhukk.. Asma ibu sudah sangat parah, ibu sudah tidak kuat lagi nak.”
“Buu,
jangan pergi. Nanti siapa yang masakin Reno bu..” Ucap Reno sambil menangis
pula seperti kakaknya. Raisa yang sedang tertidur pulas di samping ibunya malah
tak mengerti apa yang terjadi di sekitarnya.
“Bu,
jangan tinggalin kami bu. Aku nggak rela kalau ibu pergi.” Ucap Reiva tak henti
menahan tangisnya.
“Reiva,
ibu pesan ke kamu. Tolong jaga dan rawatlah adik-adikmu ini dengan baik. Jika
kau merasa keberatan mengasuh Raisa, titipkanlah saja dia ke bibimu, Sumi.
Uhukk..uhukk..! Dan untuk Reno, jangan nakal ya nak. Walaupun ibu sudah tak
bisa lagi memasakkan makanan untuk kamu, Kak Reiva juga bisa kok memasakkan
makanan selezat masakan ibu. Jangan sedih lagi ya nak.”
Tak lama kemudian, benar pula apa yang
dirasakan ibu Reiva sejak tadi. Allah benar-benar ingin memanggil sang ibu pada
saat itu juga. Akhirnya ibu Reiva berhenti berkata-kata karena nafasnya tlah
terhenti dan telah memejamkan matanya untuk selama-lamanya.
“IBUUUUUUUUUUUU…!”
Teriakan Reiva dan Reno yang sangat keras membangunkan Raisa yang sedang
tertidur. Raisa pun menangis pula. Lalu Reiva menggendong Raisa.
“Reno,
percuma kita teriak manggil-manggil ibu. Ibu udah dipanggil sama Allah dan
nggak akan kembali lagi. Tak ada gunanya kita menangisi kepergian ibu, ibu
sudah tenang di alam sana. Sebaiknya kita selalu berdoa untuk ibu agar ibu
bahagia di sana.” Ucap Reiva demi menenangkan Reno.
***
Kabar
mengenai meninggalnya ibu Reiva nampaknya sudah terdengar sampai ke Kalimantan
di mana bapaknya bekerja. Tapi, bapaknya pun sampai sekarang belum juga pulang
ke rumah, bahkan tak mengirimkan kabar satu pun untuk keluarganya di rumah.
Bapak Reiva juga belum sedikit pun mengirimkan uang untuk menyambung hidup
Reiva dan adik-adiknya.
Karena
Reiva merasa sudah tak sanggup lagi merawat adik-adiknya, maka ia titipkan Reno
dan Raisa kepada Bibi Sumi. Raisa pun rela putus sekolah dan menyisakan
kenangan prestasinya di SMP Ranah Merdeka. Dulu ia seringkali membawa nama
harum nama sekolahnya, tapi kini tak lagi karena Reiva sudah tak punya biaya
lagi untuk sekolah. Sedikit dana beasiswa yang ia dapat ia kumpulkan untuk
modal usaha mencari nafkah. Dia belikan alat-alat lukis seperlunya. Dia mencoba
mencari nafkah dengan melukis dan lukisannya akan ia jual demi mendapatkan
uang.
Setiap
pagi, siang, dan malam Reiva melukis di rumahnya yang dekat dengan dermaga.
Hasil lukisannya tak dapat diragukan
lagi dan tampak bagus karena dari kecil Tuhan sudah menganugerahkan kepadanya
kemampuan untuk melukis.
Suatu
hari setelah banyak lukisan yang dapat ia buat, ia coba jualan keliling di
sekitar pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan lokal maupun asing. Reiva
berjalan ke sana ke mari sambil menawarkan beberapa lukisannya. Namun belum ada
satu pun yang mau membeli lukisan Reiva. Tiba-tiba ada seorang wanita yang
menghampiri Reiva.
“Mbak
mau beli lukisan saya?” Tanya Reiva kepada wanita cantik yang dikiranya akan
membeli lukisannya.
“Tidak
kok. Hmm, kamu sedang bekerja mencari uang ya?”
“Iya
mbak, saya jualan lukisan biar dapet uang untuk biaya hidup saya dan adik-adik
saya.”
“Daripada
kamu susah-susah nyari uang kayak gini yang belum tentu ada pembelinya,
mendingan kamu ikut saya. Kamu kerja di villa saya. Nanti kamu akan cepet dapat
uang banyak kalau mau kerja di tempat saya.” Ucap wanita muda berbaju seksi
yang kelihatannya baik itu.
“Memangnya
saya harus kerja apa di tempat Mbak?”
“Ada
deh pokoknya, yang penting sekarang kamu ikut saya.”
Tanpa
pikir panjang lagi, Reiva menuruti saja tawaran wanita cantik itu karena Reiva
mengira kalau dia wanita yang baik hati yang akan merubah nasibnya lebih baik
lagi.
***
Malam
pun tiba, Reiva sudah berada di sebuah villa di dekat pantai yang indah dan
megah. Banyak orang kaya dengan mobil mewahnya berkunjung ke villa ini. Banyak
pula wanita cantik yang dipekerjakan di sini. Namun mereka semua berpakaian
minim dan seksi. Reiva terkejut dengan suasana villa ini.
“Reiva,
inilah tempat kerja baru kamu. Malam ini kamu sudah boleh mulai kerja di sini.”
“Mbak,
kenapa kok yang bekerja di sini semua berpakaian seperti itu?”
“Memang
begitu peraturannya, agar mereka bisa dapat uang banyak. Kamu mau nggak? Kamu
malam ini harus memakai pakaian minim dan seksi seperti mereka.”
“Tapi
saya tidak mau Mbak. Saya tak mau memakai pakaian minim seperti itu, tidak
sopan.” Tolak Reiva dengan tegas.
“Udahlah,
kamu jangan sok tahu. Kamu nurut aja apa perintah saya. Ingat, kamu bisa dapet
uang banyak dalam waktu semalam saja. Cepet ganti pakaian sana!”
Sepertinya
wanita itu semakin memaksa Reiva dan Reiva tak bisa mengelak lagi mengingat ia
memang butuh uang untuk menyambung hidupnya. Dan akhirnya Reiva terpaksa harus
membalutkan pakaian minim di tubuhnya. Memang Reiva semakin kelihatan cantik,
namun agak hina bagi dirinya.
“Lalu
apa yang harus saya kerjakan di sini Mbak?” Tanya Reiva setelah ia selesai
didandani oleh wanita itu.
“Kamu
masuk saja di kamarmu, akan saya tunjukkan kamarmu. Mari ikut saya.”
Lalu
Reiva dibawa ke sebuah kamar di villa yang megah itu. Tidak lama kemudian ada
seorang laki-laki setengah tua memasuki kamar Reiva dan sempat membuat Reiva
terkejut.
“Anda
siapa? Mau apa Anda masuk ke kamar saya?” Tanya Reiva sambil ketakutan melihat
laki-laki itu lekas membuka jas dan kemejanya untuk mencumbui Reiva.
“Gadis
cantik, jangan takut. Aku cuma mau menikmatimu saja malam ini.”
“Tidak,
saya tidak mau. Pergi kau, aku bukan makanan yang bisa kau nikmati begitu saja.
Aku masih punya harga diri. Tak akan kubiarkan kau merenggut kesucianku. Pergi
kau lelaki tua !” Gertak Reiva lalu menendang laki-laki tua itu. Lalu Reiva
berusaha kabur dari villa itu lewat jendela kamar. Reiva menyadari kalau
dirinya telah dijual oleh wanita baik yang ternyata jahat itu. Reiva tak mau
jika dirinya harus bekerja sehina itu.
“Hei
jangan kabur kamu!” Laki-laki itu berusaha mengejar Reiva. Tapi Reiva terus
berlari sampai-sampai dia meghentikan laju sepeda motor yang sedang dikendarai
oleh seorang pemuda yang kebetulan melintasi jalan itu. Reiva mencoba meminta
bantuan ke pemuda itu.
“Tolong
saya, saya mohon.”
“Ada
apa? Iya kamu jangan panik, saya akan menolong kamu.” Ucap pemuda berparas
tampan dengan rupa wajah oriental itu.
“Saya
dikejar orang jahat. Tolong saya, bawa saya pergi dari sini.”
“Iya
tenang ya? Akan saya bantu kamu, kamu sementara ikut ke rumah saya saja ya?
Mari saya bonceng.”
Lalu
Reiva ditolong oleh pemuda tak dikenal itu dan dibawa ke rumahnya yang
sederhana dan tak jauh dari daerah pesisir pantai.
“Nama
kamu siapa?”
“Namaku
Reiva. Hmm. Terima kasih ya kamu sudah mau menolong saya. Nama kamu siapa?
Apakah kamu tinggal sendirian di sini?”
“Namaku
Reyhan. Iya, aku tinggal di rumah ini sendirian. Kedua orangtuaku sudah
meninggal dan aku tak punya siapa-siapa lagi.”
“Oh
begitu, lalu kamu bekerja apa untuk memenuhi kebutuhan sehari-harimu?” Tanya
Reiva.
“Aku
adalah seorang pelukis. Pekerjaanku sehari-hari hanyalah melukis. Aku mempunyai
galeri seni di dekat pantai. Setiap hari banyak pengunjung yang membeli dan
memesan lukisanku. Dari sini lah aku bisa mempertahankan hidupku.”
“Wah
hebat. Aku sebenarnya juga seorang pelukis, aku berusaha menjual lukisanku
keliling pantai namun tak ada yang membelinya. Aku hidup sebatang kara dan aku
menjual lukisanku untuk mendapatkan uang demi menyambung hidup.”
“Hmm,
mungkin kamu harus berusaha lebih keras lagi. Orang sukses itu berawal dari
kegagalan yang berulang kali dia alami. Jika sudah putus asa di tengah jalan,
berarti ia tidak mau sukses. Apa kamu mau seperti itu?”
“Tidak,
aku juga ingin sukses seperti kamu.”
“Apa
begini saja, kamu bawa lukisan-lukisan kamu ke galeriku. Nanti kita jual
bersama. Bagaimana? Kamu setuju nggak?”
“Setuju
banget. Makasih banget ya Reyhan. Baru pertama kali aku bertemu dengan pemuda
sebaik kamu.”
“Ah
masa’ sih? Ya sudah sekarang kamu istirahat dulu. Besok aku antarkan kamu
pulang. Rumahmu di mana emangnya?”
“Rumahku
di dekat dermaga. Ya sudah, aku mau istirahat dulu. Kamu juga ya Reyhan.”
Lalu Reiva beristirahat sementara di
rumah pemuda baik hati itu.
***
Singkat
cerita, Reiva lalu menjalin hubungan bisnis dengan Reyhan. Lukisan-lukisannya
banyak yang laku terjual di galerinya Reyhan. Sudah dua tahun lamanya bisnis
mereka berjalan lancar. Reiva dan Reyhan sukses menjadi pelukis terkenal sampai
ke mancanegara karena banyak turis asing yang meminati lukisan hasil karya
mereka berdua. Tidak hanya menjalin hubungan bisnis, Reiva yang ternyata jatuh
cinta kepada Reyhan juga telah menjalin hubungan asmara dengan Reyhan. Suatu
hari Reiva meminta Reyhan untuk mengantarkannya ke dermaga. Reiva menanti
kedatangan bapaknya yang sudah lama tak pulang.
Tiba-tiba
terlihat cahaya lampu mercusuar yang menandakan ada kapal yang akan berlabuh.
Satu per satu orang yang turun dari kapal diamati oleh Reiva. Ia sedang
mencari-cari bapaknya, barangkali bapaknya turun dari kapal. Lalu ada seorang teman
bapaknya yang ingin menyampaikan suatu hal yang kelihatannya sangat penting pada
Reiva.
“Reiva,
kamu anaknya Pak Ranto kan?”
“Iya
pak, ada apa ya pak? Di mana bapak saya? Apa dia belum turun dari kapal?”
“E..e..e..tidak
nak. Bapakmu tidak ikut turun dari kapal. Bapakmu sudah…”
“Sudah
apa pak? Ayo katakan! Saya ingin sekali bertemu dengan bapak saya.”
“Bapakmu
sudah meninggal nak. Dia terkena kecelakaan saat bekerja. Dia tertimpa
longsoran batubara di tempat kerjanya. Sebenarnya bapakmu sudah setahun yang
lalu meninggal. Tapi saya tidak tega menyampaikan kabar ini ke keluargamu.”
“Apa?
Bapak meninggal? Ya Allah…” Reiva langsung pingsan karena shock mendengar kabar
yang menusuk batinnya itu.
***
Kini
nasib Reiva telah sama dengan Reyhan, kekasihnya. Mereka sama-sama hidup
sebatang kara. Oleh karena mereka mempunyai masalah yang sama, mereka bermaksud
untuk menggapai keinginan bersama agar masalah mereka bisa terlupakan. Mereka
berdua lalu menikah untuk meneruskan hubungan cinta mereka tanpa disaksikan
oleh kedua orangtua mereka.
Reiva
dan Reyhan lalu hidup bersama di rumah mewah di dekat pantai sebagai hasil
kerja keras mereka berdua selama ini. Reiva juga tak lupa mengajak Bibi Sumi
dan adik-adiknya untuk tinggal bersamanya di rumah mewahnya. Sesekali Reiva dan
suaminya berkunjung ke makam ibunya, bahkan ke makam bapaknya yang berada di
Pulau Kalimantan. Kini Reiva mendapatkan kehidupan yang bahagia setelah sepanjang
hidupnya dilanda penderitaan. TAMAT