Jumat, 03 Oktober 2014

Melawan Batas



            Atmosfer ruangan ini masih tetap seperti dahulu. Tak berubah, tak berkembang. Membuatku jenuh dengan semua ini. Jika Tuhan mengijinkanku berteriak, aku akan berteriak sekeras mungkin sehingga dunia dan seisinya tahu apa yang selama ini kurasakan. Namun, untuk berbicara dengan penghuni dunia ini saja tak bisa, apalagi meneriakinya. Sungguh keterbatasanku menahanku untuk mengungkapkan semua isi hatiku.
            Inilah aku, seorang gadis yang terlahir dengan keterbatasan wicara yang menghadapi kehidupan yang keras. Kehidupan yang tak seharusnya dijalani oleh seorang gadis apalagi gadis tunawicara sepertiku. Hidup sebagai seorang loper koran memaksaku untuk meninggalkan kehidupan remaja yang menyenangkan. Semua keadaan yang kujalani saat ini memang memiliki sejarah yang memilukan. Ayahku yang menjadi salah satu korban longsornya tambang batubara di Kalimantan menyebabkanku dan adikku kehilangan figur ayah. Ibuku pun kehilangan imamnya untuk selama-lamanya. Sudah setahun lamanya keluargaku hidup tanpa kehadiran Ayah.
             Nduk, kamu kok nggak berangkat nganterin koran? Lihat itu sudah jam berapa.” Tanya Ibuku tiba-tiba sampai membangunkanku dari lamunan.
            Kulihat jarum jam sudah menunjukkan pukul tujuh pagi. Kulihat Ibu juga sudah siap menjajakkan kue-kuenya, adikku pun ternyata juga sudah berangkat sekolah. Seharusnya pukul enam pagi aku sudah mulai menjajakkan koran di jalanan. Namun gara-gara aku melamun, jadi lupa waktu. Tanpa basa-basi lagi langsung saja ku bergegas berangkat ke agen koran. Tak lupa ku berpamitan dengan Ibu.
            Sesampainya di tempat agen koran, dengan segenap rasa bersalahku akibat dari keterlambatanku hari ini, ku memohon maaf  kepada sang bos. Hanya menunduk dan menangkupkan tangan sebagai isyarat bahwa aku meminta maaf  kepada bosku.
“Sudah tidak apa-apa, besok lagi jangan telat ya. Kalau telat, saya nggak akan memberimu upah. Ambillah koran-koran itu, kemudian jajakkan di persimpangan lampu merah. Saya harap kamu bisa memberikan setoran yang lebih dari hari-hari kemarin.”
            Kuacungkan jempolku dan kuanggukkan kepalaku sebagai tanda aku siap menjalankan perintah dari bos. Alhamdulillah saja Tuhan membukakan pintu rezeki yang cukup lebar bagiku. Meski rupiah yang kudapat dari menjajakkan koran tak seberapa, setidaknya dapat membantu Ibu menyambung hidup dan menyekolahkan adikku satu-satunya yang kini sedang mengenyam pendidikan sekolah dasar.
            Di persimpangan lampu merah inilah kukais rezeki dari lembar-lembar kertas yang berisi karya para jurnalis yang mengulas bermacam berita. Meski ku tak pandai bicara karena memang ku tak bisa bicara, namun ku pandai menawarkan koran-koran ini. Hampir setiap hari koran yang kujajakkan habis tak tersisa. Mungkin mereka yang mengetahui keterbatasanku merasa iba sehingga mau membeli koran-koranku ini.
            Di saat lampu merah menyala, inilah waktu berharga bagiku untuk menjajakkan koran-koran yang kubawa. Dari duapuluh eksemplar yang kubawa, tinggal sisa seperlimanya saja. Dengan peluh keringat mengalir dari tubuhku, ku rehatkan sejenak badanku di atas trotoar. Sembari istirahat, kuhitung rupiah yang kuperoleh hari ini. Alhamdulillah. Hari ini aku bisa menyetorkan uang yang lebih kepada bos.
            “Eka, koen dapat duit berapa hari ini?” Tanya seorang temanku yang tiba-tiba menghampiriku dan ikut duduk di trotoar.
            Ku tersenyum simpul, ku isyaratkan dengan jemariku bahwa hari ini aku mendapatkan uang tiga puluh dua ribu rupiah.
            “Wah akeh banget ya. Aku wae cuma dapat segini kok.”
            Kulihat beberapa lembar rupiah yang didapat temanku yang memang secara nominal lebih banyak rupiah yang kuperoleh daripada dia. Tapi ku tersenyum padanya, dan kutuliskan dalam sebuah kertas agar ia dapat cepat memahami apa yang ingin kukatakan padanya.
Nggak apa-apa. Apa yang kamu peroleh itu ialah pemberian Tuhan yang harus kamu syukuri. Kelak Tuhan akan memberikan yang lebih baik kepada orang-orang yang mau berusaha dan bersabar.
            “Eka, koen emang pinter ngingetin aku buat bersyukur. Koen sahabatku sing paling baik nek dunia ini.” Ucap Riri, sobat seperjuanganku sesama loper koran seraya memelukku.
            Ketika aku dan Riri sedang berpelukan, tiba-tiba kulihat ada dua orang preman sedang memalak anak-anak jalanan yang baru saja ngamen. Apa yang kulihat ini membangkitkan emosiku untuk melawan orang-orang tak berperikemanusiaan itu. Tanpa basa-basi aku langsung berlari ke arah anak-anak jalanan itu. Kulawan dua preman itu seorang diri, kucoba melawan mereka berdua dengan menghajarnya. Sampai-sampai dua preman itu kemudian kabur meninggalkan anak-anak jalanan itu.
“A-i-an a-a-a?(Kalian nggak apa-apa?)” Tanyaku kepada para anak jalanan yang malang itu.
“Terima kasih kak. Kami nggak apa-apa, tapi uang kami dibawa mereka kak. Jadi kami sekarang nggak punya uang lagi.”
            Mengetahui anak-anak jalanan itu tak memiliki uang lagi, hatiku tak kuasa menahan iba. Walaupun sesungguhnya aku juga sangat membutuhkan uang, tapi ada yang lebih membutuhkan daripada aku. Kuputuskan untuk memberikan sebagian rupiah yang kuperoleh hari ini kepada mereka.
“Nggak usah Kak, kami bisa ngamen lagi kok.”
“A-a i-as ok(Kakak ikhlas kok)”
“Kakak yakin?” Salah satu dari mereka menoleh pada yang lain.
            Kemudian kuanggukkan kepalaku sebagai pertanda bahwa aku benar-benar memberikan hasil keringatku untuk mereka karena rasa iba di hatiku sudah tak terbendung lagi.
            Kasihan sekali anak-anak jalanan itu, aku benar-benar tak terima bila dua preman itu terus saja memalak anak-anak jalanan tak berdaya ini. Terbersit sebuah rencana untuk melaporkan dua preman itu ke kantor polisi agar mereka tidak melanggar hak asasi anak-anak jalanan itu.
“Wah, koen kok berani banget ya ngelawan dua preman biang kerok itu. Hebatnya sahabatku ini.” Riri kemudian menghampiriku.
“Ah, u-an a-a a-a(Ah, bukan apa-apa)” Kataku sambil tersenyum.
            Kemudian kusampaikan rencanaku kepada Riri untuk melaporkan dua preman itu kepada polisi agar ditindak secara hukum.
“Tapi piye carane Ka? Kita kan nggak punya bukti yang akurat tho?”
            Itu urusan belakangan saja, pikirku dalam hati. Yang penting sekarang Riri kuajak ke kantor polisi untuk melaporkan semuanya.
            Sesampainya di kantor polisi terdekat, kucoba ceritakan semua laporanku tentang pemalakan liar anak jalanan oleh dua preman itu. Mungkin sang polisi kurang paham akan bahasa isyaratku ini. Riri mencoba memperjelas apa yang kusampaikan kepada polisi itu.
“Begini Pak, ada dua orang preman yang sering memalaki anak-anak jalanan yang baru ngamen. Sampai tadi sempat ada perkelahian karena teman saya ini melawan preman-preman itu demi membela anak-anak jalanan itu. Kalau nggak ada teman saya ini, wah nggak tau dah piye nasibe anak-anak jalanan iku. Tapi kami ingin dua preman itu segera ditangkap saja Pak, biar nggak malak anak jalanan maneh.”
“Baik, kami akan segera menindaklanjuti perkara yang Anda laporkan. Tapi kami juga memerlukan bukti yang akurat untuk membantu penelusuran kami mengenai dua preman tersebut.”
            Aku dan Riri saling berpandangan. Bukti seperti apa yang harus aku berikan untuk membantu polisi-polisi ini.
“Bagaimana Mbak? Anda memiliki bukti atau tidak?”
            Aku dan Riri belum dapat memberikan keputusan.
“Maaf Pak Polisi, bukti seperti apa ya yang harus kami berikan?” Tanya Riri.
“Anda bisa membawa saksi atau korban yang mengalami perkara ini.”
“A-o-i-i, a-ya i-a e-a-u(Pak Polisi, saya bisa membantu)”
            Kuambil dua lembar kertas dari sakuku dan juga sebuah pensil. Riri dan para polisi yang ada di situ sedang heran melihat apa yang kulakukan. Aku menggoreskan pensilku ke dua lembar kertas itu. Di atas dua lembar kertas itu kulukiskan sketsa wajah dua preman itu. Di sini tak ada yang tahu bahwa sebenarnya aku pandai melukis sketsa wajah seseorang, bahkan Riri pun tak tahu.
            Kuserahkan dua lembar kertas itu kepada sang polisi. Sang polisi memperhatikan betul dua gambar tersebut. Tampaknya ia mulai paham siapa dua preman yang kumaksud. Dua preman yang setelah ini akan menjadi buronan bagi para polisi itu.
“Baik, terima kasih sudah membantu kami dengan memberikan sketsa wajah ini. Kami akan segera mencari siapa dua preman ini dan menindaklanjutinya.”
            Aku dan Riri berterima kasih kepada polisi tersebut. Hatiku sudah sedikit lega mendengar bahwa sang penegak hukum akan segera menindak para manusia kriminal itu. Setelah dari kantor polisi, kemudian kami berdua pulang ke tempat bos untuk menyerahkan setoran hari ini. Aku rela pendapatanku hari ini berkurang, karena uang yang seharusnya kusetorkan kepada bos sebagian telah kuberikan kepada anak-anak jalanan itu.
***
            Hari-hari menjalani hidup di jalanan kota metropolitan ini memang keras. Sejak peristiwa yang melibatkan dua preman dan anak-anak jalanan yang malang itu, ada saja kasus kriminalitas yang kujumpai. Tak pernah aku tak terlibat dalam perlawanan terhadap para penjahat-penjahat metropolitan itu. Aku tak peduli diriku tak bisa bicara, yang penting diriku bisa melawan mereka yang tak berperikemanusiaan. Namun aku tak tau bagaimana cara menyeret penjahat-penjahat itu, aku tak bisa bicara. Tapi sepertinya Tuhan selalu memberikan jalan bagi orang-orang yang berjuang dalam kebaikan. Dia memberikanku kemampuan melukis sketsa. Dengan memperhatikan wajah-wajah penjahat di Kota Pahlawan ini, aku bisa melaporkan penjahat-penjahat itu ke kantor polisi.
            Sampai suatu ketika saat aku usai melapor di kantor polisi, ada seorang polisi muda menghampiriku.
“Kamu, siapa namamu? Sering sekali kamu datang melapor kemari.”
“A-a-u e-a(Namaku Eka)” Sepertinya ia tak dapat menangkap siapa namaku. Kemudian kucantumkan namaku dalam sebuah kertas dan kutunjukkan padanya.
“Oh, Eka. Maaf sebelumnya. Kami dari pihak kepolisian sangat salut atas apa yang kamu lakukan selama ini. Kamu sudah banyak membantu kami untuk menangkap penjahat-penjahat yang sedemikian banyaknya di kota metropolitan ini yang kami tak ketahui. Tapi sketsa wajah yang kamu berikan kepada kami itu sangat membantu kami.” Ucap polisi muda itu dengan senyum kepadaku.
“I-a, a-ma a-ma (Iya sama-sama)” Kuanggukkan kepalaku sambil tersenyum.
“Di sini yang bisa memahami bahasa orang yang memiliki disability hanyalah aku. Kebetulan saja mungkin kita seumuran, jadi kita bisa ngobrol dengan bahasa nonformal. Maaf sebelumnya. Perkenalkan namaku Ksatria Wredatama, brigadir dua. Bolehkah aku berteman denganmu?”
            Sejenak ku berpikir, apa yang menyebabkan polisi muda ini ingin menjadi temanku. Aku seorang gadis loper koran, tunawicara pula, dan tak punya apa-apa. Bicaraku saja sulit, bagaimana ia bisa berteman denganku nantinya.
“Eka, kenapa kamu diam saja? Aku tahu kamu memang sulit berucap, namun itu tak menghalangi seseorang untuk berteman denganmu.”
            Sejenak kupikirkan dalam hatiku, mengapa aku terlalu rendah diri seperti ini. Namun setelah mencerna dalam-dalam perkataan polisi muda itu, kuanggukkan kepalaku lalu tersenyum, menandakan “iya”. Kuterima pertemananku dengan polisi muda itu.
“Aku mewakili segenap anggota kepolisian di sini memintamu untuk bermitra kerja di sini. Kami mohon kepadamu untuk bersedia bekerja bersama kami dengan memaksimalkan potensi kamu itu. Kamu bisa menggambar sketsa wajah itu berarti kamu bisa membantu kami untuk menelusuri para penjahat itu dengan sketsa wajah yang kamu gambarkan.”
            Rasa gemetarku mendengar permohonan polisi itu. Mengapa mereka begitu membutuhkanku. Aku hanya tidak sengaja menggambar sketsa untuk mereka, karena aku tak bisa mengungkapkan bagaimana ciri fisik dengan jelas menggunakan lisanku. Lantas jika aku bekerja dengan mereka, bagaimana dengan pekerjaanku sebagai loper koran?
“Kamu bekerja di sini saja, tak perlu lagi menjajakkan koran-koran di persimpangan lampu merah. Segenap anggota kepolisian di sini akan membantumu memenuhi segala kebutuhan hidupmu.”
            Sebelum diriku pulang, polisi muda itu memberiku sebuah amplop coklat besar, yang katanya berisi surat pernyataan untuk bersedia bekerja bersama mereka. Kuterima amplop itu untuk kutunjukkan kepada Ibuku nanti.
            Sesampainya di rumah, kubuka amplop itu. Betapa terkejutnya aku karena apa yang dikatakan Bripda Ksatria mengenai isi amplop berupa surat pernyataan itu ternyata berisi uang jutaan rupiah. Ibuku yang mengetahuinya sontak terkejut.
“Masyaallah Nduk, darimana kamu dapat uang sebanyak itu? Tak biasanya kamu dapat uang segini dari hasil jualan koran.”
            Bagaimana aku harus menceritakan ini semua pada Ibu. Ceritanya amat sangat panjang. Kutuliskan semua yang selama ini kulakukan, hingga pihak kepolisian memintaku bekerja bersama mereka, dan mungkin uang ini adalah wujud penghargaan mereka untukku. Padahal aku sungguh tak mengharapkan semua ini.
“Wah Mbak Eka bisa dapat uang banyak sekarang. Aku bisa minta dibeliin apa aja dong.” Kata adikku, Brata.
“Hus, kamu ini. Eka, ibu bangga sama kamu Nduk. Kita sudah lama hidup susah, belum pernah dapat uang segini banyaknya. Lebih baik kamu terima saja Nduk tawaran dari pihak kepolisian itu. Siapa tahu nasib kita bisa berubah lebih baik.”
            Setelah kupikir-pikir, inilah jawaban atas kejenuhanku selama ini. Setelah sekian lama hidupku menderita dengan segenap cobaan yang menimpa dan kehidupan keras yang kujalani. Mungkin inilah saatnya kutinggalkan kehidupan yang keras di jalanan yang hanya bertumpu pada bergantinya warna traffic light menjadi merah. Yang berharap lembar-lembar koran itu dapat ditukar dengan rupiah.
            Aku memang harus banting setir. Bukan karena aku ingin segera hidup kaya. Namun, aku hanya ingin menghapus segala penderitaan yang dirasakan Ibu dan adikku setelah kehilangan Ayah. Kebahagiaan mereka menjadi obor yang menyalakan semangat hidupku.
***
            Sejak saat itu kutinggalkan kehidupanku sebagai seorang gadis loper koran. Kini aku bekerja bersama para anggota kepolisian yang memintaku menjadi sketch painter guna membantu penelusuran tersangka berbagai tindakan kriminal. Pekerjaanku saat ini membuatku mampu membeli sebuah rumah di perumahan elit di kawasan Kota Pahlawan. Aku, Ibu, dan adikku dapat merasakan bagaimana atmosfer yang baru.
            Suasana yang kurasakan selama bekerja menjadi seorang sketch painter membuatku merasa seperti sudah menjadi bagian dari mereka, para anggota kepolisian. Selama bertugas di lingkungan mereka, aku tak merasakan bahwa aku adalah manusia yang berbeda dari mereka. Aku tak merasakan bahwa selama ini aku terlahir sebagai seorang tunawicara. Bripda Ksatria Wredatama telah membantuku setiap berkomunikasi dengan para anggota kepolisian itu. Memang hanya dia yang bisa memahami bahasa orang disability semacam diriku ini.
            Suatu ketika diriku diajak ngobrol dengan Ksatria, satu-satunya orang yang dapat memahami bahasa isyaratku, mungkin pula memahami bahasa hatiku.
“E-i-a a-ih a?(Terima kasih ya)” Ucapku sambil memainkan tanganku sebagai isyarat.
“Sama-sama, Eka. Aku dan segenap anggota kepolisian di sini juga sangat berterimakasih kepadamu karena kamu sudah bersedia bekerja bersama kami.”
            Polisi muda itu tersenyum kepadaku. Aku pun membalasnya dengan senyum pula. Kemudian kulihat matanya menatapku, lama sekali. Kemudian ku isyaratkan padanya, mengapa dia menatapku seperti itu.
“Maaf ya, Eka. Aku tak ada maksud lain. Aku hanya kagum denganmu. Gadis sepertimu, entah bagaimana aku harus menyebutnya. Kamu memang seorang gadis yang memiliki disability, tapi semangatmu itulah yang dapat membuatmu menjadi seorang gadis yang istimewa bagiku. Kamu pernah menjadi loper koran lah, pernah menolong anak jalanan lah, dan hal terbesar yang pernah kamu lakukan selama ini adalah mampu mengungkap hal yang belum kami ungkap. Kamu adalah gadis terhebat yang pernah kutemui di dunia ini.”
            Dia tersenyum lagi kepadaku. Aku tersipu malu mendengarnya. Yang ada di hadapanku ini adalah seorang pemuda berwajah oriental dan gagah berani. Dia juga sabar, selama ini menghadapi manusia yang hanya mampu berbahasa isyarat sepertiku. Aku merasa tak ada apa-apanya dibandingkan gadis lain yang lebih sempurna daripada aku, aku merasa masih banyak gadis yang sempurna yang lebih pantas berada di hadapannya saat ini. Apakah sesungguhnya yang kurasakan terhadap polisi muda itu?
“Eka, bagaimana kalau nanti kamu pulang aku antar? Kebetulan nanti jam dua siang aku lepas piket. Kamu mau atau tidak?”
            Dia menawariku pulang bersama. Tapi kutolak tawaran itu. Aku takut jika nanti aku terlarut dalam cinta yang sepertinya kurasakan pada dia, yang selama ini bersamaku dalam bertugas. Sepertinya aku tak siap jatuh cinta. Aku hanya seorang tunawicara, aku merasa rendah sekali jika mencintai seorang abdi negara sepertinya. Dan aku hanya pantas menjadi sebatas rekan kerjanya.
            Hari itu, akhirnya kuputuskan untuk pulang sendiri. Ketika diriku sedang melangkahkan kaki di trotoar, tiba-tiba kulihat seorang kakek berjubah putih dan bersorban putih yang sedang melintas di persimpangan lampu merah tempatku menjajakkan koran dahulu. Kulihat nyala traffic light berwarna hijau. Sementara dari arah yang berlawanan ada sebuah truk yang melaju kencang. Kakek tua itu tak melihat bahwa ada truk yang melaju sangat kencang. Hatiku tersentak untuk menyelamatkan nyawa kakek tua itu. Ku berlari ke arah kakek yang sedang menyeberang jalan itu. Lantas…
Brakkkkk….!!!
            Kulihat banyak orang berkerumunan di persimpangan lampu merah itu. Suara sirine ambulans dan sirine polisi saling mengalun di tempat itu. Apakah yang terjadi di sana. Mengapa mereka berkerumun di sana. Dengan segenap rasa penasaran, diriku ikut bergabung dalam kerumunan manusia itu.
            Betapa terkejutnya diriku ketika aku menyaksikan bahwa itu adalah jasadku. Ya Tuhan, berarti yang orang-orang saksikan itu adalah sebuah tabrakan yang terjadi saat aku menyelamatkan kakek tua dari truk yang melaju kencang itu. Lantas mengapa sang kakek yang kuselamatkan tadi tidak ada di tempat kejadian.
            Dan di samping jasadku aku melihat Ksatria sedang mengatakan sesuatu padaku seraya meneteskan air matanya, “Padahal aku hendak melamarmu, Eka.”
            Aku yang melihatnya tak kuasa menahan tangis. Di sisi lain aku merasa percuma, ini adalah aku yang tinggal roh semata.
“Nak, mari ikut saya naik ke langit.” Tiba-tiba sebuah suara datang dari belakangku. Lalu ku tengok siapakah yang berbicara padaku itu.
            Betapa terkejutnya aku karena ternyata kakek tua yang kutolong tadi tengah berdiri tegap di belakangku tanpa terlihat luka apapun. Kemudian kutanya kakek tersebut menggunakan bahasa isyaratku. Darimana dia berasal dan mengapa ia hendak mengajakku naik ke langit. Namun sebelum sepatah katapun keluar dari mulutnya untuk menjawab pertanyaanku, ia langsung memboncengku naik ke atas langit.
Nduk, Eka, bangun lah.”
            Suara itu sepertinya kukenal, ya itu ibuku. Aku terbangun dari tidurku. Apa yang kualami tadi, sepertinya aku tadi diajak oleh seorang kakek tua naik ke atas langit. Tapi mengapa kini aku berada di kamar tidurku sendiri. Bahkan aku tak percaya sedikit pun bahwa yang kualami tadi adalah sebuah mimpi buruk. Semua terlihat seperti nyata. Aku gelisah, kuungkapkan semua pada ibuku.
“Kamu cuma mimpi Nduk. Sekarang kamu segera mandi dan berdandanlah yang cantik. Di luar sudah ada seseorang yang menunggumu, Ksatria hendak melamarmu Nduk.” Ucap Ibu seraya tersenyum bahagia.
“Ibu bersungguh-sungguh?”
“Loh Eka, kamu bisa bicara Nduk? Ya Allah, kamu benar-benar bisa bicara Cah Ayu. Alhamdulillah.”
“Ya Allah, aku bisa bicara. Alhamdulillah Ya Allah.”
            Aku bisa bicara seperti orang normal. Sungguh tak ku percaya. Apa ternyata mimpi buruk yang kualami itu adalah sebuah pertanda baik. Dan yang paling tak kuduga adalah, Bripda Ksatria hendak melamarku hari ini juga. Ya Tuhan, aku sangat bersyukur padaMu karena Engkau telah memberikan segala nikmat dan mukjizat yang luar biasa.
            Hari itu pula Ksatria melamarku. Untuk kemudian aku hidup sebagai seorang Bhayangkari yang tak pernah kusangka-sangka sebelumnya. Rentetan hidup yang kumulai dari menjadi seorang loper koran, seorang sketch painter, seorang gadis tunawicara yang hanya berangan-angan dengan cintanya, sekarang berujung pada sebuah mukjizat yang luar biasa karena aku dapat berbicara normal dan dinikahi oleh seorang abdi negara.
            Hanya satu yang ingin kusampaikan, salam untuk Ayahku di sana. “Terima kasih Ayah, selama ini telah mengajarkanku bagaimana memperjuangkan hidup di tengah segala keterbatasan dan kekurangan. Tapi itulah yang menuntunku mencapai sesuatu yang sebelumnya hanya sebuah angan. Alhamdulillah ya Allah. Dekatkanlah Ayah di sisiMu. Dekatkanlah pula aku dan keluargaku di sisiMu pula.”
TAMAT